Kasih Tanpa Batas

Dalam kehidupan ini, kita mengenal banyak pembatasan. Pembatasan dapat berwujud aturan, baik tertulis maupun berupa norma masyarakat (lisan-kesepakatan komunitas). Pembatasan dibuat untuk mengatur agar kehidupan bersama berjalan dengan tertib dan lebih baik. Tetapi pada saat kita berbicara tentang kasih, pertanyaannya adalah apakah kasih mengenal batas? Adakah pembatasan untuk memberlakukan kasih? Pada kenyataannya kita sering menjumpai (atau memberlakukan?) kasih yang terbatas. Terbatas untuk keluarga dan kerabat. Terbatas untuk orang yang saya kenai. Terbatas pada agama, terbatas pada suku dan batas-batas lainnya yang semakin berlapis-lapis menyaring tindakan kasih kita.

Kasih Yang Universal

Pada saat kita melihat pelayanan Yesus, kita akan menjumpai keuniversalan dari kasih-Nya. Yesus mengakui bahwa misi-Nya berlaku atas bangsa Yahudi, tetapi bukan berarti IA membatasi pelayanan kasih-Nya hanya bagi orang Yahudi. Bangsa Yahudi dipilih secara khusus agar dapat menjadi berkat secara universal. Pada akhir pelayananNya, IA menugaskan para murid untuk memberitakan kabar keselamatan kepada seluruh bangsa tanpa batas (Matius 28:19-20).

Secara khusus mari kita lihat keunikan Yesus ketika menghadapi seorang perempuan yang berasal dari bangsa Kanaan, yang membutuhkan pertolongan kasih-Nya. Kisah ini diceritakan di Matius 15:21-28.

Lalu Yesus pergi dari situ dan menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: “Kasihanilah aku,ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.”

Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: “Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak” Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”

Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: “Tuhan, tolonglah aku.” Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”

Kata perempuan itu: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh.

Kisah ini menarik dan mengejutkan, karena reaksi dan jawaban Yesus yang tidak terduga. Pertama-tama, kita melihat tentang keterangan tempat. Pada ayat 21 ditulis bahwa Yesus menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. Hal ini menunjukkan kesengajaan Yesus keluar dari lingkungan Yahudi dan memasuki lingkungan bukan Yahudi. Wilayah tersebut adalah tempat tinggal bangsa Fenisia. Mengapa Yesus perlu menyingkir? Rupanya Yesus memerlukan waktu untuk menemukan keheningan. Tidak ada tempat di Palestina yang dapat dikunjungi-Nya untuk menemukan keheningan dan privasi-Nya, karena orang banyak selalu saja mengikutiNya. Satu-satunya cara bagi Yesus adalah memasuki wilayah orang non Yahudi karena orang Yahudi tidak bersedia memasuki lingkungan wilayah non Yahudi yang dianggapnya kafir (William Barclay).

Tetapi ternyata di negeri asing pun Yesus tidak bisa benar-benar menyepi. Di wilayah itu, IA berjumpa dengan seorang perempuan yang memiliki anak perempuan yang kerasukan setan. Disebutkan bahwa perempuan ini adalah perempuan Kanaan. Jika menengok sejenak sejarah orang Kanaan dan Yahudi, maka kita akan menemukan bahwa kedua bangsa ini musuh bebuyutan sejak zaman nenek moyang mereka. Bagaimana dengan sikap Yesus sebagai orang Yahudi?

Kasih Universal – Mengoyakkan Pembatasan

Kasih Yesus tidak berkurang sedikitpun. Ia tetap berbelas kasih kepada penderitaan sesama-Nya. Asal usul perempuan yang bukan Yahudi itu diungkapkan oleh Yesus, bukan karena Yesus akan bersikap seperti kebanyakan orang Yahudi, melainkan lewat peristiwa ini IA mengkritisi sikap penolakan orang Yahudi kepada mereka yang bukan Yahudi. Tidak diragukan lagi betapa bangga dan cintanya orang Yahudi dengan garis keerurunan mereka. Kebanggaan itu membuat mereka menyingkirkan dan membatasi perbuatan kasih mereka.

Ketika Yesus mengatakan “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing,” IA sedang copy-paste kebiasaan orang Yahudi dalam memperlakukan orang-orang di luar Yahudi. lA seakan-akan menyetujui sikap para murid-Nya sendiri yang berencana mengusir perempuan itu. Bagi para murid, kehadiran perempuan tersebut merepotkan dan membuat keributan (bukankah mereka ingin menyepi?). Para murid dengan cepat mengartikan diamnya Yesus dengan ketidaksukaan Yesus terhadap kehadiran perempuan itu, sama seperti yang mereka rasakan.

Dialog yang sangat menggugah hati pun terjadi, perempuan ini tidak memedulikan penolakan para murid dan Yesus. Ia bersikeras untuk mendapatkan pertolongan, demi cintanya kepada anak perempuannya. Ia tidak menyerah ketika jalan menuju Yesus terhalang oleh kesukuannya. Ia pun tidak meminta berlebihan, karena yang diminta adalah apa yang tersisa (ayat 27).

Kata “anjing” sering digunakan orang Yahudi untuk menghina orang non Yahudi. Kata “anjing” diungkapkan untuk menggambarkan seekor anjing liar, yang tidak terurus, mengais sampah di jalan-jalan dan mengidap penyakit. Tetapi pada saat Yesus menyebut perempuan itu dengan kata “anjing”, Yesus menggunakan kosa kata yang berbeda, yaitu kunaria. Kunaria bukanlah anjing jalanan yang liar, tetapi menunjuk pada anjing rumahan (binatang peliharaan) yang dirawat dengan baik oleh tuannya. Kita dapat membayangkan bagaimana orang zaman sekarang memperlakukan anjing peliharaannya. Anjing-anjing itu mendapatkan perawatan yang mahal dan diperlakukan begitu baik, bahkan istimewa. Dengan demikian Yesus sedang memutarbalikkan kebiasaan orang Yahudi dalam memperlakukan orang non Yahudi. Ketika orang Yahudi memperlakukan mereka sebagai kafir, Yesus justru memperlakukan mereka sebagai sesama yang dirawat dan dikasihi-Nya. Orang Yahudi memperlakukan orang non Yahudi dengan buruk, sementara Yesus memperlakukan mereka dengan penuh cinta kasih dan dengan kemurahan hati-Nya.

Kegigihan perempuan itu untuk menembus batas, menunjukkan kualitas imannya. Yesus bersukacita menyambut iman perempuan itu dan menyapa dalam kuasa-Nya yang menyembuhkan kesakitan anaknya. Sapaan Yesus pun berubah menjadi “ibu”, Yesus melihat cinta kasih yang begitu besar dari seorang ibu kepada anaknya. Cinta yang memampukan ia bertahan dan menghalau rintangan. Iman yang aktif untuk mewujudkan pertolongan bagi buah hatinya.

Perikop ini berbicara tentang kasih. Kasih Yesus yang menembus batas-batas yang dibangun manusia atas dasar apa pun. Kasih seorang ibu yang menembus batas rintangan untuk mendapatkan kemurahan hati dan pertolongan kuasa Yesus. Dalam perikop ini ditunjukkan kepada kita bahwa seberapa besar usaha manusia untuk membatasi kasih, maka lebih besar lagi kuasa Yesus untuk merontokkannya, sebab kasih itu tak berbatas. Ia menyapa siapa pun, merangkul siapa pun dan ia memulih siapa pun tanpa batas.

Artikel disadur dari tulisan Pdt. Dahlia Vera Aruan

0